Powered By Blogger

Minggu, 14 Oktober 2012

Tugas II Manajemen & Supervisi Pend. SD


REZA RIEZKY F
PGSD / VII / E
09 141 179


1.      Paradigma Lama Manajemen Pendidikan Indonesia

Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan di awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yang dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan hasil dan layu sebelum berkembang.
Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.
Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yang menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan, sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.
Didorong oleh keinginan untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif dan berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya norma-norma EBTANAS, dan berbagai tes standar. Paradigma ini diarahkan untuk mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan supervisi, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.
Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah menghasilkan percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif dan kemampuan berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999).
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan untuk pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka paradigma proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan kegiatan-kegiatan untuk pemenuhan tenaga kerja industri. Namun, perluasan ruang lingkup pendidikan tersebut telah mengubah dimensi pendidikan dari tanggung jawab keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan keluarga, formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.
Munculnya berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yang tidak berorientasi pada esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia pendidikan semakin mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yang terjadi adalah terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap sebagai state business non profit; dan pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand dari konsumen.
Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan pada tujuan hidup manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan bersama. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada ide-ide politiknya. Sekolah merupakan sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap paling bermanfaat oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian rakyat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.
Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan pula prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan adalah (1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (2) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era global yang melanda semua segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko pada keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam percaturan global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia tersebut, di samping tetap berorientasi pada empat indikator yang dijadikan pijakan untuk mengevaluasi paradigma lama, juga  berorientasi pada nilai-nilai orisinal yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia,  nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia.

2.      Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Indonesia
            Mengacu kepada deskripsi masyarakat Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal. Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.
            Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.
            Penerimaan nilai-nilai asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara: keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka dan media massa.
            Untuk mengantisipasi tidak terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
            Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju dan sebagian lagi terlantar.
            Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan  (5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
            Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan, media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
            Pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap  stake holder (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
            Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.