REZA RIEZKY F
PGSD / VII / E
09 141 179
1.
Paradigma Lama Manajemen
Pendidikan Indonesia
Praksis
pendidikan Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak
mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya.
Perubahan-perubahan fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57
tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi
dari pemerintahan Kolonial dan militerisme Jepang diubah menjadi sistem
pendidikan yang populis yang banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak
bangsa. Lebih-lebih pendidikan di awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas
oleh Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha
mengubur pendidikan yang dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan
hasil dan layu sebelum berkembang.
Dalam
perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator
perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1)
popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.
Popularisasi
pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia
yang menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya
alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan,
sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping
itu, dengan didorong oleh gerakan education
for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya
melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib
belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai
akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang
tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan
semakin bertambahnya pengangguran.
Didorong oleh keinginan untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan
nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini
melahirkan undang-undang positif dan berbagai peraturan yang menjamin
uniformitas suatu sistem, lahirnya norma-norma EBTANAS, dan berbagai tes
standar. Paradigma ini diarahkan untuk mencapai tujuan efesiensi perencanaan
dan manajemen pendidikan, memudahkan supervisi, mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu
pendidikan nasional.
Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah menghasilkan
percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Di sisi lain,
paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif dan kemampuan
berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar,
2000a,b, Van Peursan, 1999).
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman penjajahan
Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan
terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar
kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan
disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan
tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan untuk
pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi
yang semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global,
maka paradigma proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan
formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan kegiatan-kegiatan
untuk pemenuhan tenaga kerja industri. Namun, perluasan ruang lingkup
pendidikan tersebut telah mengubah dimensi pendidikan dari tanggung jawab
keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan keluarga,
formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk memenuhi tuntutan popularisasi
pendidikan.
Munculnya berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan yang lebih
berorientasi pada aspek supply,
mengakibatkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung
ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan
antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya
berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan dunia kerja itu terjembatani
(Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yang tidak berorientasi pada
esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia pendidikan semakin mengalami
alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a).
Anomali-anomali yang terjadi adalah terabaikannya peranan pendidikan informal;
pendidikan dianggap sebagai state business non profit; dan pendidikan
lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand dari
konsumen.
Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan
pada tujuan hidup manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang
berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan bersama. Indonesia yang tengah
berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yang
berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada ide-ide politiknya. Sekolah
merupakan sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik serta
propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap paling bermanfaat oleh para
penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian rakyat
secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah
secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang
kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.
Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan sarana indoktrinasi
idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan pula prinsip-prinsip bahwa (1)
pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan masalah sosial budaya,
(2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan
persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan adalah
(1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical
dan creative thinking masyarakat, (2) terjadi keterpurukan pada profesi
praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut,
dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara
signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia
saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era global yang melanda semua segi
kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko pada
keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata dunia. Perlu disadari
bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari krisis pendidikan
tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan
meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati. Atas dasar
keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera
menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma
baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis,
meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta
peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam
percaturan global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia tersebut, di samping tetap berorientasi
pada empat indikator yang dijadikan pijakan untuk mengevaluasi paradigma lama,
juga berorientasi pada nilai-nilai
orisinal yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan
dan wawasan pendidikan Indonesia,
nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan
antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma
baru pendidikan Indonesia.
2.
Paradigma Baru Manajemen
Pendidikan Indonesia
Mengacu kepada deskripsi masyarakat
Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan
bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak
pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma
pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi
pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi
dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal.
Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat
memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk
tetap survive dalam kehidupan global
dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri.
Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat
Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas
bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui
oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran
melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.
Dalam rangka mengatasi
kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan
hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga
pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak.
Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan
mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan
untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan
masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat
industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan
mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan
kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini
dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based
learning, problem solving, problem
based learning, project based
learning, cooperative learning,
conceptual change instruction.
Penerimaan nilai-nilai asing dalam
pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi asimilasi
dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut,
terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses
dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai asing
dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang
bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang
menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif tentang
fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya disesuaikan dengan
kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu dapat
dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara: keluarga,
sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka dan
media massa.
Untuk mengantisipasi tidak
terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan
antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan
generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial,
etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif
tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan
realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar
budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing,
studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup
penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program
pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan
kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk
memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya.
Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya
negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan
prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
Untuk membentuk manusia-manusia
antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya
diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa
nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor
swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku
bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah
yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam
itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang
dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui
media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga,
sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator
pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang
cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui
pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi
paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku
sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam
segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata
oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju
dan sebagian lagi terlantar.
Untuk memajukan popularisasi
pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan
pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2)
meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan,
investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan
melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui
program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2)
menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3)
menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4)
menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi
pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (5)
meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat
memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru
dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui
praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi
banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan
Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan
sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan
dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan
dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional
yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan
program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan
bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program
(1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2)
mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur
memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring
dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi
maupun kabupaten.
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan
kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk
meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1)
meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan,
media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia
kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat
dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi
lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin
masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas
dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus
urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama
yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan dan
politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi
pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan
maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan
peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam
mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan
hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2)
masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui
program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka
membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2)
menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga
pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan dan kebudayaan adalah
suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya
lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal,
berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka
diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di
daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya
adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam
penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas
horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab
terhadap stake holder (masyarakat) yang memiliki
pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan
pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah
memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten.
Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk
menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di
kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
Dalam memasuki era globalisasi,
terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan
sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan
kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini.
Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas,
relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi
global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan
jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula
mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global
sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas
pada dimensi lokal.